Hakekat Manusia Menurut Soren Kierkegaard

1. Riwayat Hidup Soren Kierkegaard

Soren Kierkegaard dilahirkan pada 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Saat ia dilahirkan, ayahnya Mikhael Kierkegaard, sudah berusia 51 tahun. Ayahnya adalah seorang yang sangat saleh. Ia yakijn bahwa ia telah dikutuk Tuhan, karena itu ia percaya bahwa tak satu pun dari anak-anaknya akan mencapai umur melebihi Yesus Kristus. Ia percaya bahwa dosa-dosa pribadinya, seperti misalnya mengutuki nama Allah di masa mudanya dan kemungkinan juga menghamili Ibu Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini. Meskipun banyak dari ketujuh anaknya meninggal dalam usia muda, ramalannya tidak terbukti ketika dua dari tujuh anak-anaknya melewati usia ini. Perkenalan dengan pemahaman tentang dosa di masa mudanya dan hubungannya dari ayah dan anak meletakkan dasar banyak bagi karya Kierkegaard (khususnya takut dan gentar). Meskipun sifat ayahnya kadang melankolis dari segi keagamaan, Kierkegaard mempunyai hubungan yang erat dengan ayahnya. Ia belajar memanfaatkan ranah imajinasinya melalui serangkaian latihan dan permainan yang mereka mainkan bersama. Ayah Kierkegaard meninggal pada 9 agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum meninggal, ia meminta Soren agar menjadi pendeta. Soren sangat terpengaruh oleh pengalaman keagamaan dan kehidupan ayahnya dan terus merasa terbeban untuk memenuhi kehendak ayahnya.




2. Hakekat Manusia Menurut  Soren Kierkegaard

Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya:

  • Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan.
  • Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona.
  • Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif – termasuk agama – harus mendarah daging dalam si individu.
  • Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis . Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku .” Kierkegaard mencari 
kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vécue), a real knowledge.
  • Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius.
  • Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi seorang hedonis yang sempurna, seorang “perayu” seperti Don Juan, atau seorang yang “sok tahu” dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan teologi).
  • Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis.
  • Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang terkoyak-koyak. Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Sebagai orang Kristen – ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk – dengan ketidakpastian intelektual yang besar – mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia.






REFRENSI



Soren Kierkegaard, Journals, dalam http://id. Wikipedia. Org/Soren Kierkegaard# Cite-ref-Creegan-3-1

Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2013)

Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000)

http://id. Wikipedia. Org/Wiki/Soren Kierkegaard

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Riwayat hidup dan Pemikiran Arthur Schopenhauer

Hakekat Manusia Menurut Auguste Comte

Kehendak Berkuasa Menurut Filsafat Nietzsche