Kebebasan Menurut Filsafat Jean Paul Sartre

Kebebasan Menurut Filsafat Jean Paul Sartre
Pemikiran Sartre berawal dari menaggapi pemikiran “Cogito Ergo Sum” yang digagas Rene Descartes. Menurut Sartre, Cogito ditafsirkan sebagai Cogito tertutup yang terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya.

Sartre berkeyakinan bahwa “Ada” merupakan syarat bagi tampaknya sesuatu, “Ada” itu selalu bersifat transfenomenal, istilahnya tidak dapat dijadikan suatu fenomen saja, tidak pernah dapat dilampaui antara polaritas kesadaran dan “Ada”. Kesadaran dirumuskan Sartre sebagai berikut : kesadaran akan dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Kesadaran adalah kesadaran diri, tetapi kesadaran dirinya tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya.

Cogito bukanlah pengenalan diri, melainkan kehadiran kepada dirinya secara non-tematis, dapat dikatakan Cogito prareflektif. Kesadaran dirinya membonceng kesadaran dunia, artinya Cogito tidak menunjuk pada suatu relasi pengenalan, melainkan pada suatu relasi Ada. Kehadiran pada dirinya merupakan syarat yang perlu dan cukup untuk kesadaran, maka tidak membutuhkan suatu subjek Transendental atau Aku Absolut, seperti pemahaman idealisme. Untuk menunjukkan Ada, Sartre  mempunyai dua bentuk :

1.  Being-for-itslef (etre-pour-soi)
Ada yang berkesadaran, dengan prinsip kemampuan untuk bertanya dan menerima jawaban baik negatif maupun positif. Kesadaran tampil terhadap obyek, menanyakannya dan yang ditanyakan itu tidaklah dirinya sendiri sebagai kesadaran. Oleh karena itu, kesadaran tidak pernah identik dengan dirinya, bahkan tidak mempunyai identitas karena tidak bisa dekat dengan cara lain dari refleksi. Menurut Sartre for-itself yaitu kehadiran manusia dirinya sendiri sebagai “Ada” yang menyebabkan ketiadaan muncul di bumi ini, ketiadaan yang muncul di dunia menyebabkan manusia memeluk kebebasanya, suatu kebebasan yang membuat kecemasan.

Kesadaran itu sebagai kebebasan mengatasi obyek yang disebut in-itslef, maka manusia dapat mengatur dan memilih serta memberikan makna alam kepadatan, dan memberikan bentuk tertentu sebagai dunia yang cocok bagi dirinya. Dengan demikian Sartre menjelaskan struktur langsung dari for-itslef, diantaranya : penghadiran diri, faktisitas dari for-itslef, for-itslef dan nilai-nilai, for-itslef dan adanya kemungkinan-kemungkinan, diri dan lingkungan kedirian.

2.  Being-in-itslef (etre-en-soi)
Ada yang tidak berkesadaran, in-itslef adalah suatu imanensi yang tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri, tidak pernah terpisahkan baik dalam refleksi maupun temporalitas, maka disebut dengan “Ada dalam dirinya sendiri” (in-itslef). Sederhananya, “Ada” tidak ada hubungan keluar karena tidak berkesadaran, tidak pernah dan tidak akan bisa menempatkan dirinya, tidak pernah terpengaruh dengan masalah keberadaanya.

Manusia terus menerus berbuat, mencari tempat dimana ia dapat berdiri, berusaha untuk dapat “berada dalam diri”, akan tetapi hal demikian tidak mungkin. Pada hakekatnya manusia bukan hanya memiliki kesadaran dan kebebasan, tetapi hidupnya dihubungkan dengan sesamanya juga, ia “berada untuk orang lain” (l’etre pour autrui). Hal demikian menurut Sartre disebut dengan kata “malu”.

Pendapat Sartre, psikonalisa membuktikan bahwa manusia pada ahirnya hanya menginginkan satu hal, yaitu “berada”. Yang diinginkanya ia “berada dalam diri” yang dapat bersandar pada diri sendiri. Jadi bukan entre-en-soi, melainkan entre-en-so-pour-soi “berada dalam diri untuk diri”. Namun yang berada demikian hanyalah Allah semata, tapi Sartre tidak mengakui adanya Allah.

Ahirnya Sartre memberi nasehat agar kita jangan memandang ke dalam, sebaiknya memandang keluar saja, yaitu kepada pekerjaan dan masa depan yang kita rencanakan. Dan pada ahir bukunya Sartre mengatakan bahwa manusia merupakan une passion inutile. Istilahnya manusia adalah suatu gaerah yang sia-sia. Maka terlihat jelas, aliran eksistesialisme dikatakan sebagai aliran pesimisme.

Kebebasan
Dalam filsafat Sartre “kebebasan” merupakan suatu kata kunci, dengan kata lain manusia adalah kebebasan, maka manusia harus bebas menetukan dan memutuskan. Cara lain untuk mendefinisikan manusia pada dasarnya menunjuk kepada hal yang sama, yaitu manusia adalah satu-satunya makhluk bahwa eksistensi mendahului esensi.

Kebebasan manusia tampak dalam kecemasan, kecemasan menyatakan kebebasan. Sartre membedakan ketakutan dan kecemasan. menurut Sartre ketakutan mempunyai salah satu objek yaitu benda-benda dalam dunia, sedangkan kecemasan menyangkut diri sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi diri seluruhnya tergantung kepada dirinya. Hemat kata, kecemasan merupakan kesadaran bahwa masa depan diri tergantung pada dirinya sendiri. Kebebasan berkaitan dengan beberapa hal, yaitu :

Kebebasan manusia dan faktisitas dalam situasi
Sartre mengemukakan kebebasan manusia adalah mutlak, ahirnya harus berhadapan dengan faktisitas (kenyataan), hal ini merupakan persoalan yang sangat serius dalam kaitanya dengan kebebasan manusia yang dicitrakan. Faktisitas sebagai struktur for-itslef ada beberapa yang tidak bisa ditiadakan, akan tetapi dapat melupakan sejenak, memanipulasi, dan mengolahnya, diantaranya :
a)  Tempat
Manusia sebagai eksistensi dia mengada dalam situasi tempat, demikian diperkuat dengan kenyataan bahwa manusia yang mengada dengan ketubuhan, akan tetapi bukan tubuh sebagai obyek, melainkan tubuh yang dihayati, dengan kebutuhan manusia selalu ada di tempat, namun tidak berperangkap ke dalamnya.
Dengan adanya tempat dimana manusia tinggal, dapat dijadikan sebagai landasan tindakan-tindakanya yang merupakan salah satu bentuk dari fakstisitas, namun semuanya tergantung pada rencana-rencana kebebasan manusia itu sendiri yang serentak sebagai penghalang serta pengurangan terhadap penghayatan kebebasan manusia.

b)  Masa lalu
Setiap orang hidup mempunyai masa lalu. Adapun masalah tersebut dapat diolah oleh manusia dengan apa yang dikehendaki. Setiap orang bisa melupakan masa lalu, bahkan dapat memanipulasi dalam suatu cerita menurut skenarionya sendiri. Masa yang lampau itu sudah berlalu, keputusan-keputusan yang diambil manusia adalah sekarang, bisa saja menyimpang dari apa yang telah disiapkan di masa lampau.

c)  Lingkungan sekitar
Lingkungan sekitar merupakan salah satu faktisitas yang ditemui oleh manusia sebagai “Ada” sadar mengadakan di dunia. Lingkungan sekitar manusia sebagai kenyataan yang tidak dapat dihilangkan dan merupakan sejumlah kemungkinan. Yang dimaksud yaitu segala sesuatu termasuk di dalamnya benda-benda dan alat-alat yang berada dalam lingkungan tersebut.

d)  Orang lain dengan eksistensinya masing-masing
Faktisitas adanya orang lain tidak dapat dihindari, menurut Satre ia merupakan persoalan yang sangat penting. Tampilnya orang lain dengan latarbelaknganya menunjukkan cara orang tersebut menaggapi kita, meskipun latar belakngannya yang menjadi penampilan bukan dipilihnya sendiri.

e)  Maut
Maut adalah salah satu faktisitas yang dihadapi manusia dalam menjalankan eksistensinya. Setiap mahkluk yang bereksisitensi akan diakhiri dengan tibanya maut, maka sirnalah semua eksisistensi manusia. Namun Sartre memandang maut tidak mempunyai makna apa-apa, manusia hanya mengarah pada dunia saja, bahkan manusia yang mati, dia benar-benar menjadi masa lalu.

Kebebasan manusia dan hubungan antarmanusia
Menurut Sartre hubungan anatarmanusia dan peranan ketubuhan seseorang memainkan peranan penting, karena manusia sebagai eksistensi, di samping kesadaran juga ditandai dengan kebutuhanya. Tampilnya manusia lain menjadi ancaman dan konflik. Alasanya ketika orang lain memandang, maka pada saat itu “Aku” diobyekkan dan dia menjadi subyek. Dengan demikian “Aku” kehilangan kebebasan. Adapun beberapa bentuk relasi wujud antarmanusia yaitu :
a)  Sikap acuh tak acuh
Dalam hal ini, Sartre bertolak dari sikap kebutaan terhadap orang lain, seseorang dapat memilih terhadap dirinya sendiri sebagai pandangan orang lain, serta membangun dunia subyektivitasnya dengan menghilangkan subyektivitas orang lain.

b)  Sikap cinta
Manusia adalah makhluk yang hidup di tengah-tengah dunia dengan orang lain, ini merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Maka dalam hidup, di tengah-tengah manusia lain akan mengenal cinta. Sartre memandang cinta adalah penipuan diri sendiri dan konflik, karena hanya sebuah siasat licik untuk mendominasi kebebasan orang lain secara halus, suatu muslihat terselubung.
Pesimisme Sartre itu karena ia memandang cinta tidak puas dengan suatu perjanjian dari pihak lain, seseorang yang mencintai ingin memiliki dunia orang yang dicintai, menyerahkan dirinya bulat-bulan menjadi obyek untuk terus dicintainya. Hal demikan menurur Satre terjebak dalam dunia orang lain atau dia berada bagi orang lain.

c)  Sikap benci
Pandangan Sartre orang lain menjadi sebab “jatuh”, sehingga merupakan ancaman permanen terhadap eksistensi. Orang lain bukan hanya dikuasai, melainkan dibinasan. Menurutnya kebencian adalah usaha agar bebas tetapi terjamin, karena susasana dalam perjuangan hidup.

Kebebasan dan tanggung jawab
Kebebasan seseorang dalam dalam bertindak dan dalam memilih apa yang diputuskan selalu melibatkan tanggung jawab. Dengan kebebasanya sebagai manusia bereksisitensi, diperkenankan memilih kemungkinan-kemungkinan bagi realisasi diri. Tuntutan yang terpokok adalah memberikan makna eksistensi manusia otentik di balik kedok kemanusiaan. Dengan demikian, kamanusiaan dimaksudkan sebagai proyek bagi dirinya yang sekaligus dihayati berlaku untuk semua manusia.


Menurut Sarte untuk merealisasi tuntutan pokok kebebasan dan tangung jawab melalui jalan kemanusiaan, yaitu : manusia selalu keluar dari diri sendiri, mengatasi diri sendiri, mengakui kebebasan sendiri, menentukan diri sendiri dan membuat nilai moral sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Riwayat hidup dan Pemikiran Arthur Schopenhauer

Hakekat Manusia Menurut Auguste Comte

Kehendak Berkuasa Menurut Filsafat Nietzsche