Hakekat Manusia Menurut Auguste Comte

Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme.
Aliran positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme.
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut.

Tiga Tahap Peradaban Manusia

Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap, yakni :

1. Tahap Teologis

Tahap Teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk-makhluk selain insan.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala "suci" dapatb disebut "dewa-dewa", "dewa-dewa" ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa laut, dewa angin dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini, orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, dibalik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.


2. Tahap Metafisik

Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep "alam", sebagai asal mula semua gejala.


3. Tahap Positifistik

Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari "segala sesuatu" yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan "pengamatan" dan dengan "memakai akalnya". Pada tahap ini pengertian "menerangkan" berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Riwayat hidup dan Pemikiran Arthur Schopenhauer

Kehendak Berkuasa Menurut Filsafat Nietzsche